Teks Pidato Korupsi 1 |Perubahan Harus Dimulai Dari Sekarang
Assalaamu’alaikum wr wb.
Selamat siang saudara, salam sejahtera bagi kita semua yang hadir dalam kesempatan yang berbahagia ini.
Pertama-tama, mari kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Illahi Robbi, karena berkat rahmat dan karunianya lah kita dapat berkumpul dalam acara ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Bapak Gubernur Jawa Barat dan Bapak Ketua KPK, serta pemerintah pada umumnya, yang telah memberikan penghargaan yang begitu berarti ini kepada saya.
Tak pernah saya menyangka sebelumnya akan mendapatkan penghargaan yang luar biasa dari negara ini. Namun, ini semua semata-mata bukanlah hasil dari usaha saya pribadi, akan tetapi penghargaan ini merupakan hasil dari kerja keras saya bersama rekan-rekan yang mendedikasikan dirinya bagi perjuangan melawan korupsi di negeri Indonesia tercinta ini.
Bagi kami, perjuangan melawan korupsi adalah perjuangan tanpa akhir, proses pembentukan suatu bangsa yang mapan, terbuka, dan selalu ada “kejujuran” dalam dada masyarakatnya, suatu bangsa yang entah kapan benar-benar menjadi kenyataan.
Sebelum kita mengenal lebih jauh mengenai korupsi, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu arti dari kata korupsi itu sendiri. Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi (Andi Hamzah, 2005:4).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, 1991, korupsi berarti busuk; palsu; suap. Akan tetapi, saya lebih setuju dengan arti kata korupsi dalam The Lexicon Webster Dictionary, 1978, yang menyebutkan arti kata korupsi adalah kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian.
Indonesia boleh bangga sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman suku, agama, dan budaya. Bangga karena dianugerahi keindahan alam nan menawan. Mungkin juga bangga akan kemajuan peradaban masa lalu, di jaman Majapahit ataupun Sriwijaya. Bangga karena berhasil mempersatukan bangsa, berjuang bersama melewati masa-masa sulit dan memerdekakan Indonesia.
Tapi kini, masihkah itu semua cukup untuk kita banggakan ? Tidak adakah hal baru atau prestasi yang pantas kita banggakan? Prestasi yang tidak semua bangsa bisa dengan mudah menyainginya ?
Ignatius Haryanto dalam artikelnya di harian Kompas, mengajak kita mencatat prestasi terbaru bangsa Indonesia. Prestasi itu ialah, negara kita sebagai salah satu negara terkorup selama bertahun-tahun. Selain itu, negara kita juga merupakan negara yang koruptornya paling rentan dengan kesehatan. Koruptor kita selalu sakit setiap kali hendak diperiksa atau diadili. Lalu, PBB menyimpulkan bahwa korupsi peradilan di Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia yang mungkin hanya bisa disaingi oleh Meksiko. Dan ironisnya, dari berbagai cara yang selama ini sudah ditempuh, belum terlihat perubahan yang baik dari kondisi bangsa ini. Lalu apa yang bisa kita berikan untuk bangsa ini ?
Matahari terlalu pagi mengkhianati. Pena terlalu cepat terbakar. Kemungkinan sekarang adalah memperbesar kemungkinan, pada ruang ketidakmungkinan. Sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan. Untuk berkata tidak mungkin, sampai darah mereka mengering. Sebelum mata pena berkarat, dan menolak kembali terisi. Sebelum semua paru disesaki tragedi, dan pengulangan menemukan maknanya sendiri.
Dalam pasar dan semerbak tontonan. Atau mungkin dalam limbah dan kotoran. Atau mungkin dalam seragam sederetan nisan. Atau mungkin dalam pembebasan ala monitor 14 inch yang menawarkan hasrat pembangkangan, ala Levi’s dan Nokia. Atau menara teatrikal Supermall. Opera sabun panitia penyusun Undang-undang Pemilu yang membanyol tentang kekonyolan demokrasi, naratif berdasi. Menopengi mutilasi pembebasan dengan sengkarut argumentasi tentang bagaimana menyamankan posisi pembiasaan diri di hadapan seonggok tinja para sosok pembaharu dunia bernama pasar bebas. Dan perdagangan yang adil, untuk kemudian memperlakukan hidup seperti AKABRI, dan dikebiri matahari, terlalu pagi mengkhianati.
Dan heroisme berganti nama menjadi C4, sukhoi, dan fiksi berpagar konstitusi. Menjenguk setiap pesakitan dan upeti bunga pusara dari makam pahlawan tetangga. Dari berhala hingga anonimus bernama burung Garuda Pancasila, yang menampakkan diri pada hari setiap situs menjadi sepenggal bebatuan yang melayang pada poros yang sejajar dengan tameng dan pelindung wajah para penjaga makam firaun berkhakis. Yang muncul 24 jam matahari dan gulita bertukar posisi di setiap pojokan, bahkan di kampus umum dan selokan, mencari target konsumen, dan homogenisasi kelayakan. Maka setiap angka menjadi maka dan makna.
Ketika kita disuguhi setiap statistik dan moncong senjata dengan ribuan unit SSK untuk menjaga stabilitas. Sejak hitam dan putih hanya berlaku di hadapan mata. Menolak terasuki Setan dan Tuhan yang mewujud dalam ocehan canon-canon dukungan Big Mac dan Ice Cream Cone yang berseru “Beli, beli, beli, konsumsi, konsumsi kami sehingga kalian dapat berpartisipasi dalam usaha para anak negeri yang berjibaku untuk naik haji.”
Oh betapa menariknya dunia yang sudah pasti. Menjamin semua nyawa dan pluralitas dengan lembaran kontrak asuransi, dengan janji pahala bertubi, dengan janji akumulasi nilai lebih, bursa saham, dan dengan semantik-semantik kekuasaan yang hanya berarti dalam kala ketika periode berkala para representatif di gedung parlemen memulai tawar menawar jatah kursi.
Oh betapa indahnya dunia yang berkalang fajar poin-poin nista. Sehingga pion-pion negara yang berkubang di belakang pembenaran stabilisasi nasional menemukan pembenaran evolusi mereka dengan berbentangkan saluran-saluran pencerahan para rockstar yang lelah berkeluh kesah. Karena peluh mengering kasat di hadapan pasang giri lalat-lalat pasar, dan kiloan refleksi etalase, dan display berhala-berhala, berskala lebih takut dari ampas neraka. Di antara robekan surat rekomendasi para negara donor, perancang undang-undang dan fakta-fakta anti teror, para arsitek bahasa menaklukkan, para pengagung kebebasan, kebebasan yang hanya berlaku di hadapan layar flatron, kemajemukan ponsel, demokrasi kotak suara, dan pluralisme
gedung rubuh.
Oh betapa agungnya dunia di hadapan barisan nisan yang dikebiri matahari, terlalu pagi mengkhianati. Maka, jangan ijinkan aku untuk mati terlalu dini wahai rotasi CD dan seperangkat boombox ringkih. Jangan ijinkan aku mendisiplinkan diri ke dalam barisan wahai tentara seluloid dan narasi. Dan demi perpanjangan tangan remah di mulutmu anakku, jangan ijinkan aku terlelap menjagai setiap sisa pembuluh hasrat yang kumiliki hari ini. Demi setiap huruf pada setiap fabel yang kututurkan padamu sebelum tidur zahraku, mentariku.
Jangan sedetikpun ijinkan aku berhenti menziarahi setiap makam tanpa pedang-pedang kala terhunus. Lelap tertidur tanpa satu mata membuka. Tanpa pagi mensponsori keinginan berpisah. Tanpa di lengan kanan dan kiriku adalah matahari dan rembulan, bintang dan sabit, palu dan arit, bumi dan langit, lautan dan parit, dan sayap dan rakit. Sehingga seluruh paruku sesak merakit setiap pasak-pasak kemungkinan terbesar, memperbesar setiap kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan, sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan, untuk berkata tidak mungkin, tanpa darah mereka mengering,
sebelum mata pena berkarat, dan menolak kembali terisi.
Dan matahari tak mungkin lagi mengebiri pagi untuk mengkhianati. Ibarat sebuah tubuh, bangsa Indonesia sedang terjangkiti sebuah penyakit mematikan, yaitu korupsi ! Saking parahnya penyakit yang diderita, bangsa Indonesia pun menjadi kondang di seantero dunia. Si penyakitan sebutannya. Sudah saatnya kita mengobati tubuh ini dengan serius, jangan ada lagi korupsi di negeri ini ! Perubahan harus dimulai dari sekarang ! Mungkin bisa dimulai dengan menjauhi motto hidup sederhana bangsa ini, “Maju tak gentar membela yang bayar !”
Mohon maaf bila ada ucapan saya yang kurang berkenan di hati anda. Terima kasih atas perhatiannya.
Wassalam.
0 komentar:
Post a Comment